PUPUS

-->

            Mentari telah muncul dari persembunyiannya, masuk melalui celah-celah jendela kamar dengan gorden berwarna biru tua, memaksa aku untuk bangun dan memulai rutinitas hariku, kokokan ayam jantan pun masih sayup-sayup terdengar, sehingga tak ada lagi alasan bagiku untuk tetap bersantai ria sambil membuat peta dibantal.
            “ Izal, Izal bangun dah siang gini masih molor, cepetan mandi terus berangkat sekolah.”
            Izal yah itulah namaku, nama yang katrok sepertinya, namun bagaimanapun juga itu adalah nama pemberian orang tuaku. Mana mungkin aku akan menghina bahkan memberontak untuk mengganti namaku, untuk ganti namapun membutuhkan banyak uang dan juga harus melaksanakan ritualnya yaitu “Tumpengan.”
            Kata orang-orang sih aku orangnya sederhana dan pelit, namun yang paling dominan dari sikapku adalah pemarah, nggak tau juga kenapa aku dibilang pemarah, mungkin benar sih aku sering banget marah sama teman-temanku tapi “Emang Gue Pikirin” yang penting marahku nggak sampai merusak rumah-rumah warga misalnya, haha. Oh ya aku anak ketiga dari 3 bersaudara, dan kedua kakakku semuanya cewek.
            Spontan teriakan wanita itu mengagetkanku yang sedang duduk sambil mengumpulkan tenaga untuk berdiri. Yah wanita itu, wanita yang sedang memegangi pinggangnya karena menahan berat diperutnya yang berisi seorang dede bayi yang selama ini aku nanti, tidak lain dan tidak bukan dialah seseorang yang sangat berjasa dalam hidupku, hingga aku dapat menikmati menawannya dunia ciptaan Sang Maha Kuasa, dialah Ibuku.
            “ Ya bu,” Jawabku singkat karena sejujurnya mataku ini masih belum bisa diajak kompromi, bangun tidur kuterus mandi tidak lupa menggosok gigi habis mandi kutolong ibu membersihkan tempat tidurku, hahaha.
            “ Bu, ibu aku berangkat sekolah dulu ya, Assalamu’alaikum.” Ucapku sambil menjabat dan mencium tangan ibu.
            “ Iya, hati-hati ya sayang, Wa’alaikumsalam.” Jawab ibuku lembut sambil mengusap rambutku yang keriting.
oh ibu dan ayah selamat pagi
kupergi sekolah sampai kan nanti
selamat belajar nak penuh semangat
rajinlah selalu tentu kau dapat
hormati gurumu sayangi teman
itulah tandanya kau murid budiman

            setiap berangkat sekolah tak pernah bosan-bosannya aku mendendangkan lagu itu, walaupun suaraku tak mendukung tapi selalu saja aku bawa happy ketika berangkat sekolah, maklumlah aku masih kelas 3 SD masih kekanak-kanakkan.
            Teeet...teeet...teeet bel pulang itu seakan alunan merdu yang membuat kami para siswa kembali bersemangat melanjutkan aktivitas kami setelah menuntut ilmu disekolah, tidak terkecuali dengan aku.
            “ Huh, males banget aku, sekarang orang tuaku udah ngga perhatian lagi sama aku setelah kehadiran adik perempuanku yang manjanya tak terkira itu, jadi pilih kasih deh.” Gerutu Ega memulai pembicaraan kami diperjalanan pulang.
            “ Bener banget tuh Ga, orang tuaku sekarang juga pilih kasih, masa mainanku yang dirusak sama adikku malah aku yang diomelin!” tanggap Ofa dengan bersungut-sungut
            “ Hahaha itu sih derita kalian, tapi bentar lagi aku juga mau punya adik, because i’am baik hati and not arrogant so I will menyambut kedatangan adikku dengan riang ditengah-tengah my family, hahaha.” Ucapku dengan logat inggris campur Indonesia.
            “ Huuuuu.” Jawab mereka hampir bersamaan.
            “ Emang udah berapa bulan ibu kamu mengandung?” Tanya Ega penasaran.
            “Alhamdulillah udah 8 bulan ini.” Jawabku, sambil kami terus melanjutkan perjalanan kami menuju rumah dihiasi dengan senda gurau yang tak ada hentinya.
            Ega dan Ofa mereka berdua adalah sahabatku, setiap berangkat sekolah atau pulang sekolah mereka selalu setia menungguku, maklum rumah kami tidak terlalu berjauhan jadi, selain mereka berdua adalah sahabatku mereka juga tetanggaku.
            “Assalamu’alaikum.” Ucapku ketika memasuki rumah, namun ngga ada jawaban jadi aku langsung menuju ke dapur dan menyantap makan siang, karena kekenyangan akhirnya aku ketiduran, namun tidak begitu lama aku tertidur aku dikejutkan dengan ketukan-ketukan pintu yang lumayan keras, ternyata itu adalah ayah dan ibu yang sebenarnya mereka habis memeriksakan kandungan ibu kebidan.
            “ Wa’alaikumsalam, gimana keadaan dede bu, pasti fine-fine aja kan?” Tanyaku.
            “Alhamdulillah baik kok sayang.” Jawab ibu yang disertai dengan sunggingan senyum dibibir ibu.
            Sebulan telah berlalu, itu artinya kandungan ibu sudah tepat 9 bulan hanya tinggal menghitung hari kelahiran adikku, setiap hari selalu kusempatkan menempelkan telingaku diperut ibu, niatnya sih ingin mendengarkan suara dede, hehe. Untungnya ibu gak pernah merasa terganggu atas apa yang aku lakukan tiap hari dan menjadi rutunitas baruku.
            Pada suatu malam aku sedang memimpikan bermain dengan seorang anak laki-laki kecil, namun aku harus mengakhirinya karena ayah dan kedua kakak perempuanku membangunkanku. Dengan mata yang bagaikan dilem super kuat aku berusaha berjalan dan menuju kamar ibu dengan dituntun ayah.
            “ Wah asyik dede udah lahir yah, pasti cowok, bagus-bagus sekarang aku ada teman buat main dan aku......”
            “Zal.“ Kata ibu memotong pembicaraanku.
            “Iya bu kenapa. Wah itu adikku yah? Imut banget, putih, cakep hahaha.” Jawabku, sekarang aku sudah benar-benar bangun dari tidur.
            “Kamu yang sabar yah.” Kata ayah dengan nada suara yang sangat lemah hampir tak terdengar oleh telingaku.
            “Ayah bicara apa sih? Aku kan anaknya sabar baik hati dan tidak sombong, wkwkwk.” Jawabku bercanda.
            “Adik kamu sekarang udah lahir tapi adik kamu juga udah diambil,lihatlah adik kamu sekarang, dia merekahkan senyuman yang sangat manis pertanda dia sedang berpamitan pada kita semua untuk pergi, mungkin sekarang belum waktunya kamu menjaga seorang adik.” Jelas ibu panjang lebar.
            “ Ibu bercanda kan bu, ibu ngga serius kan?” Tanyaku sambil menahan sesuatu dimataku yang sepertinya akan segera jebol.
            “ Nggak sayang, ibu serius.” Kata ibu dengan mata yang mulai meneteskan butiran berkilau dari matanya. Seketika itu pula aku tak mampu menahan sesuatu yang sedari tadi ingin keluar dari mataku, dan akhirnya air mataku deras mengalir membasahi pipiku seperti jebolnya air bah.
            “ De, bangun de, dede bangun, kalau dede mau bangun kaka bakalan rela jika ibu sama ayah lebih sayang sama dede, kaka ikhlas jika dede mau pinjam mainan kaka atau bahkan dede mau merusaknya kaka ngga bakalan marah de dan yang terpenting kaka akan selalu menyayangi dan mencintai dede seperti kaka mencintai nyawa kaka sendiri, de bangun de, bangun!“ Kataku sambil mengusap lelehan air mataku dan memandangi seorang bayi mungil pucat yang memejamkan matanya dan merekahkan senyum dibibirnya.
            Ingin sekali aku memeluknya, menggendongnya, menciumnya dan menjembel pipinya yang chubby tapi apa daya Allah berkehendak lain yang dapat aku lakukan hanya menangis, menangis dan menangis melihat adikku mulai dimandikan dan lalu dibalut dengan kain putih bersih.
            “ Zal berangkat sekolah sanah.” Perintah ibuku, namun aku tetap diam seribu bahasa, hanya mataku yang dapat mengekspresikan perasaanku waktu itu.
            “ Zal berangkat sekolah cepetan!!” Bentak ayah, dengan terpaksa aku berangkat sekolah walau sebenarnya aku ingin sekali ikut dalam proses pemakaman adikku itu dan memandang wajahnya untuk terakhir kalinya.
            Diperjalanan berangkat sekolah, disekolah sampai diperjalanan pulang aku tetap tidak mengucapkan sepatah katapun, disekolah aku sempat menangis karena teman-temanku yang menceritakan betapa mengganggunya seorang adik.
            “ Kenapa, kenapa mereka yang mempunyai adik berkesimpulan adik sebagai pengganggu, padahal disini aku sangat menanti seorang adik namun kenapa aku tidak mendapatkannya, kenapa ya Allah apakah dosa yang kuperbuat pada engkau begitu besar hingga aku tidak diizinkan menjaga seorang adik.” Kataku dalam hati, dengan itu mataku kembali bereaksi dan jatuhlah air mataku dengan derasnya.
Kenapa pergi?
Tuhan
Kenapa Engkau ambil dia
Dia yang selalu aku pinta
Dan dia yang akan aku cinta
Sepanjang jiwaku masih ada dalam raga
            Tuhan
            Dia telah datang kesini
            Namun mengapa dia malah pergi
            Meninggalkan kami
Tuhan
Rasa cintaku padanya
Takkan pernah sirna
Walau hari akhir tiba
Menghancurkan dunia
            Tuhan
            Tangisku menganak sungai
            Mengantar kepergiannya
            Bagai Amazon di Brazil
            Yang tak berujung

           

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Narrative Text

Makanan Termahal Didunia